Istilah media mula-mula dikenal dengan alat peraga, kemudian
dikenal dengan istilah audio visual aids (alat bantu pandang/dengar).
Selanjutnya disebut instructional materials (materi pembelajaran), dan
kini istilah yang lazim digunakan dalam dunia pendidikan nasional adalah instructional
media (media pendidikan atau media pembelajaran). Dalam
perkembangannya, sekarang muncul istilah e-Learning. Huruf “e” merupakan
singkatan dari “elektronik”. Artinya media pembelajaran berupa alat elektronik,
meliputi CD Multimedia Interaktif sebagai bahan ajar offline dan Web
sebagai bahan ajar online.
Pada awal sejarah pendidikan, guru merupakan satu-satunya sumber
untuk memperoleh pelajaran. Dalam
perkembangan selanjutnya, sumber belajar itu kemudian bertambah dengan adanya
buku. Pada masa itu kita mengenal tokoh bernama Johan Amos Comenius yang
tercatat sebagai orang pertama yang menulis buku bergambar yang ditujukan untuk
anak sekolah. Buku tersebut berjudul ”Orbis
Sensualium Pictus” (Dunia Tergambar) yang diterbitkan pertama kali pada
tahun 1657. Penulisan buku itu dilandasi oleh suatu konsep dasar bahwa tak ada
sesuatu dalam akal pikiran manusia, tanpa terlebih dahulu melalui penginderaan.
Dari sinilah para
pendidik mulai menyadari perlunya sarana belajar yang dapat meberikan
rangsangan dan pengalaman belajar secara menyeluruh bagi siswa melalui semua
indera, terutama indera pandang – dengar. Kalau kita amati lebih cermat lagi,
pada mulanya media pembelajaran hanyalah dianggap sebagai alat untuk membantu
guru dalam kegiatan mengajar (teaching aids). Alat bantu mengajar yang
mula-mula digunakan adalah alat bantu visual seperti gambar, model, grafis atau
benda nyata lain.
Alat-alat bantu itu
dimaksudkan untuk memberikan pengalaman lebih konkrit, memotivasi serta
mempertinggi daya serap dan daya ingat siswa dalam belajar. Sekitar pertengahan
abad 20 usaha pemanfaatan alat visual mulai dilengkapi dengan peralatan audio,
maka lahirlah peralatan audio visual pembelajaran. Usaha-usaha untuk membentuk
pembelajaran abstrak menjadi lebih konkrit terus dilakukan. Dalam usaha itu,
Edgar Dale membuat klasifikasi 11 tingkatan pengalaman belajar dari yang paling
konkrit sampai yang paling abstrak.
Klasifikasi tersebut
kemudian dikenal dengan nama ”Kerucut
Penglaman” (Cone of Experience) dari Edgar Dale. Ketika itu, para pendidik
sangat terpikat dengan kerucut pengalaman itu sehingga pendapat Dale tersebut
banyak dianut dalam pemilihan jenis media yang paling sesuai untuk memberikan
pengalaman belajar tertentu pada siswa. Pada akhir tahun 1950, teori komunikasi
mulai mempengaruhi penggunaan alat audio visual. Dalam pandangan teori
komunikasi, alat audio visual berfungsi sebagai alat penyalur pesan dari sumber
pesan kepada penerima pesan.
Begitupun dalam dunia
pendidikan, alat audio visual bukan hanya dipandang sebagai alat bantu guru
saja, melainkan juga berfungsi sebagai penyalur pesan belajar. Sayangnya, waktu
itu faktor siswa, yang merupakan komponen utama dalam pembelajaran, belum
mendapat perhatian khusus. Baru pada tahun 1960-an, para ahli mulai
memperhatikan siswa sebagai komponen utama dalam pembelajaran. Pada saat itu
teori Behaviorisme BF. Skinner mulai mempengaruhi penggunaan media dalam
kegiatan pembelajaran.
Teori ini telah mendorong
diciptakannya media yang dapat mengubah tingkah laku siswa sebagai hasil proses
pembelajaran. Produk media pembelajaran yang terkenal sebagai hasil teori ini
adalah diciptakannya teaching machine
(mesin pengajaran) dan Programmed
Instruction (pembelajaran terprogram). Pada tahun 1965-1970, pendekatan
sistem (system approach) mulai menampakkan pengaruhnya dalam dunia pendidikan
dan pengajaran. Pendekatan sistem ini mendorong digunakannya media sebagai
bagian intregal dalam proses pembelajaran. Media tidak lagi dipandang sebagai
alat bantu guru, melainkan telah diberi wewenang untuk membawa pesan belajar,
hendaklah merupakan bagian integral dalam proses pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar